SINOPSIS BUKU "PERMADANI HIJAU" , BUAH PENAKU
Rangga bersama sahabat-sahabatnya Isep, Tata dan Udin adalah anak-anak buruh Perkebunan Teh Rancabali. Mereka tinggal di perkampungan buruh Cibitu. Ibu-ibu Mereka berprofesi sama yaitu pemetik teh sementara bapak mereka sebagai tukang semprot.
Meski anak pemetik teh, namun keempatnya memiliki tekad yang kuat untuk merubah nasib mereka yaitu dengan menjadi siswa yang baik, rajin, dan taat kepada guru serta mentaati peraturan sekolah.
Namun di kelas mereka terdapat Toni; anak Tuan Adm atau Kepala Administrasi perkebunan. Tentu saja Bapaknya Toni ini paling berkuasa. Sehingga membuat Toni menjelma menjadi seorang yang sangat sombong.
Rangga tentu tidak menyenangi tabiat Toni yang sombong tersebut. Pada saat bermain bola karena dicurangi oleh Toni, Rangga memukulnya sehingga terjadi perkelahian. Toni kalah dan mengadukan perbuatan Rangga tersebut.
Sebagai orang yang paling berkuasa, maka Bapaknya Toni meminta Sekolah untuk mengeluarkan Rangga dan hampir mengusir dan memecat Bapak dan Emaknya Rangga dari perkebunan namun karena ada pembelaan maka orangtua Rangga tidak dipecat namun Rangga harus keluar dari SD Cibitu.
Rangga pindah sekolah ke SD Cibadak dan menjadi anak yang paling pintar di sana sehingga ia dipilih Bu Tati untuk mewakili SD Cibadak dalam Lomba Baca Puisi.
Dengan kesungguhan latihan meskipun ada gangguan dari anak SD Cibadak yang tidak senang Rangga mewakili sekolah,Rangga berhasil menjadi juara tingkat Kemantren dan diutus ke tingkat Kecamatan Ciwidey . Ia berhasil mengalahkan Toni yang menjadi wakil SD Cibitu.
Dengan membacakan Puisi hasil karangannya berjudul “Permadani Hijau”,Rangga pun berhasil keluar sebagai juara tingkat kecamatan yang berhadiah uang tunai dan beasiswa melanjutkan ke SMP.
Pada saat Rangga mendapat juara itu, Emaknya Udin sakit dan dibawa ke Puskesmas Ciwidey. Kemudian dirujuk untuk dibawa ke Rumah Sakit besar dan tentunya dengan biaya yang besar, Rangga dengan kebaikannya memberikan uang hadiah yang sebenarnya ia pun membutuhkannya.
Diakhir cerita Rangga kembali ke Cibitu sebagai Adm yang baru, ia bertemu dengan teman-teman lamanya yang telah menjadi buruh perkebuan. Ia telah menggenggam “Permadani Hijau” sebagai kiasan untuk hamparan kebun teh seluas mata memandang.
Meski anak pemetik teh, namun keempatnya memiliki tekad yang kuat untuk merubah nasib mereka yaitu dengan menjadi siswa yang baik, rajin, dan taat kepada guru serta mentaati peraturan sekolah.
Namun di kelas mereka terdapat Toni; anak Tuan Adm atau Kepala Administrasi perkebunan. Tentu saja Bapaknya Toni ini paling berkuasa. Sehingga membuat Toni menjelma menjadi seorang yang sangat sombong.
Rangga tentu tidak menyenangi tabiat Toni yang sombong tersebut. Pada saat bermain bola karena dicurangi oleh Toni, Rangga memukulnya sehingga terjadi perkelahian. Toni kalah dan mengadukan perbuatan Rangga tersebut.
Sebagai orang yang paling berkuasa, maka Bapaknya Toni meminta Sekolah untuk mengeluarkan Rangga dan hampir mengusir dan memecat Bapak dan Emaknya Rangga dari perkebunan namun karena ada pembelaan maka orangtua Rangga tidak dipecat namun Rangga harus keluar dari SD Cibitu.
Rangga pindah sekolah ke SD Cibadak dan menjadi anak yang paling pintar di sana sehingga ia dipilih Bu Tati untuk mewakili SD Cibadak dalam Lomba Baca Puisi.
Dengan kesungguhan latihan meskipun ada gangguan dari anak SD Cibadak yang tidak senang Rangga mewakili sekolah,Rangga berhasil menjadi juara tingkat Kemantren dan diutus ke tingkat Kecamatan Ciwidey . Ia berhasil mengalahkan Toni yang menjadi wakil SD Cibitu.
Dengan membacakan Puisi hasil karangannya berjudul “Permadani Hijau”,Rangga pun berhasil keluar sebagai juara tingkat kecamatan yang berhadiah uang tunai dan beasiswa melanjutkan ke SMP.
Pada saat Rangga mendapat juara itu, Emaknya Udin sakit dan dibawa ke Puskesmas Ciwidey. Kemudian dirujuk untuk dibawa ke Rumah Sakit besar dan tentunya dengan biaya yang besar, Rangga dengan kebaikannya memberikan uang hadiah yang sebenarnya ia pun membutuhkannya.
Diakhir cerita Rangga kembali ke Cibitu sebagai Adm yang baru, ia bertemu dengan teman-teman lamanya yang telah menjadi buruh perkebuan. Ia telah menggenggam “Permadani Hijau” sebagai kiasan untuk hamparan kebun teh seluas mata memandang.
Komentar