PGRI, 55 TAHUN PERJUANGANMU

Tiga bulan setelah diproklamasikannya kemerdekaan negera Republik Indonesia; tepatnya tanggal 25 November 1945, dalam suasana perang kemerdekaan, selang beberapa hari saja dari pertempuran sengit di Surabaya. Para guru berkumpul di Solo dan akhirnya memutuskan untuk mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Tentu bukan hal yang mudah bagi para guru waktu itu untuk hadir dalam pertemuan dan dalam suasana ketidak-menentuan kala itu. Namun , para guru yang memang sebagian besar turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik yang tercinta ini, tentu tidaklah gentar menghadapai hadangan dan rintangan. Tekad mereka satu yaitu untuk merumuskan langkah-langkah perjuangan para guru di kemudian hari melalui suatu organisasi yang mampu memberi arah dan etos perjuangan para guru.
Sebuah niat dan tekad yang begitu luhur mengiringi pembentukan dan lahirnya organisasi keguruan yang hingga saat ini masih bernama PGRI. Sebuah tekad yang dijiwai oleh jiwa-jiwa patriotisme para guru pada waktu itu. Mengenai sikap kepahlawanan para guru memang tak perlu diragukan lagi. Dalam sebuah tulisan di serbuah majalah pendidikan dengan judul, Ternyata, Bangsa Ini Dibangun Oleh Para Guru, dijelaskan bagaimana tokoh-tokoh pendiri negeri ini memiliki background sebagai guru : KH. Ahmad Dahlan, Beliau adalah guru agama di Sekolah Pmong Praja (OSVIA) Magelang, Ki Hajar Dewantoro, tentu tidak disangsikan lagi, Beliau adalah Bapak Pendidikan Indonesia dan menjadi guru di Sekolah Adhi Darmo,yang kemudian ia mendirikan Sekolah Taman Siswa.
Siapa yang tak kenal Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, selama masa pengasingannya di Bengkulu maupun di Ende (Flores), Beliau mengajar penduduk setempat yang salah satu muridnya adalah Fatmawati yang mendampinginya pada saat-saat genting Proklamasi Kemerdekaan RI.
Jendral Soedirman, setelah 1 tahun belajar di sekolah guru Kweekschool Muhammadiyah Solo, Beliau mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap hingga Beliau diangkat menjadi Kepala Sekolah.
Jendral A.H. Nasution, adalah lulusan sekolah guru (HIK) Bukitinggi lantas menjadi guru di Bengkulu yang kemudian mempertemukannya dengan Ir. Soekarno yang juga sebagai guru. Lantas Beliau pindah ke Muara Dua, Palembang. Dan menjadi Kepala Sekolah di sana.
Moh. Natsir, perdana menteri pertama RI di massa peralihan ini . Beliau merintis sekolah di Kota Kembang Bandung yang diberi nama Pendidikan Islam yang bertempat di jalan Pangeran Sumedang, Bandung. Hingga sekolahnya dibubarkan Jepang tahun 1942, lantas Belaiu aktif dalam karir politik yaitu di Partai Masyumi dan mengantarkannya menjadi Perdana menteri.
Sungguh luar biasa perjuangan para guru di masa pergerakan kemerdekaan kita. Memiliki tokoh-tokoh Nasional yang menjadi tonggak berdirinya Republik ini serta organisasi yang lahir di masa-masa perjuangan yang tentunya dengan semangat patriotisme yang amat tinggi. Sesuatu yang semestinya dipertahankan sebagai landasan perjuangan para guru di masa pembangunan sekarang ini.
Adapun perjuangan dan peran serta para guru dalam masa pembangunan juga tidak dapat disangsikan lagi. Dari dulu hingga sekarang, guru terutama di daerah pedesaan merupakan tokoh sentral pembangunan. Guru tidak hanya mendidik siswa di kelas, namun juga menjadi guru di masyarakat. Tengok peranan guru dalam kegiatan kemasyarakatan: menjadi Ketua RT, Ketua Rw, Ketua LKMD (BPD, sekarang), Panitia berbagai kegiatan, DKM, dan yang paling menonjol adalah sebagai Panitia pada PEMILU. Sulit dibayangkan apabila para guru yang jumlahnya lebih dari 2 juta itu tiba-tiba secara serempak tidak mau terlibat dalam semua kegiatan kemasyarakatan yang dimainkannya selama ini, Demikian DR. Dedi Supriadi (Alm) menulis dalam bukunya.
Guru juga merupakan ujung tombak ketaatan kepada pemerintah. Peran guru sebagai corong terdepan kebijakan-kebijakan Pemerintah sudah tidak diragukan lagi mengingat guru yang dianggap orang serba tahu di masyarakat terutama masyarakat pedesaan; bahkan di pinggiran kota sekalipun. Bahkan dalam penyaluran hak politiknya sekalipun.
Di masa Orde Baru berkuasa, melalui jalur A, B, dan C-nya golongan (partai) yang berkuasa telah berhasil melanggengkan kekuasaannya lebih dari tiga dasawarsa, dan itu tidak lepas dari peran sentral para guru. Banyak para guru yang menjadi pengurus DPD, DPC, hingga menjadi Jurkam pada masa kampanye sampai terjadinya perubahan politik melalui reformasi, meski peran tersebut masih dijalani sebagian kecil para guru saat ini secara sembunyi-sembunyi.
Peng­gadaian hak politik para guru tersebut turut mewarnai etos kejuangan PGRI sebagai salah satu organisasi yang berada di bawah kepentingan penguasa. Bahkan kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada nasib guru pun tetap saja diterima dengan lapang dada. Terutama menyangkut persoalan nasib dan kesejahteraan guru. Walau kebuntuan akan perjuangan nasib sendiri sempat mencair ketika ribuan guru mendatangi gedung DPR/MPR di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (GUS DUR).
Namun perjuangan nasib sendiri itu seakan mandeg. Para guru telah kembali ke sekolah dan masyarakat yang memang menjadi garapan penting sebagai seorang guru. Para guru kembali terdiam, meski janji-janji kampanye yang dilontarkan sebagian besar partai politik yang sering mengeksploitasi nasib guru sebagai bahan kampanyenya tidak juga kunjung terealisasi, bahkan ketika RUU Guru yang diyakini akan mengubah nasib para guru gagal disyahkan beberapa waktu lalu karena belum adanya kesepakatan para anggota Dewan yang terhormat.
Maka peranan PGRI sebagai organisasi yang merupakan perintis organisasi keguruan di era reformasi ini sungguh sangat besar, meski beberapa organisasi guru yang lain sudah mulai berdiri. Bagaimanapun PGRI masih tetap induk organisasi yang anggotanya hampir seluruh guru di Indonesia.
Tentunya di Hari Ulang Tahunnya yang ke-55 inilah, moment bagi PGRI untuk berintrospeksi tentang semua hal yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam perjuangan meningkatkan harkat dan martabat para guru.
Ada baiknya PGRI untuk segera memetakan apa-apa yang menjadi permasalahan para guru baik sebagai profesi maupun menyangkut nasib dan kesejahteraannya. Dalam hal ini penulis ingin kembali mengutip pendapat DR. Dedi Supriyadi (Alm) yang membandingkan organisasi guru di negara-negara maju sebagaimana tulisannya: Baik sebagai wahana untuk meniongkatkan profesionalisme maupun untuk memperjuangkan nasib guru, PGRI masih belum “secanggih” organisasi serupa di negara lain. Misalnya, NEA di AS benar-benar aktif melakukan pembinaan terhadap profesionalisme guru; sedangkan AFT lebih berurusan dengan upaya memperjuangkan hak-hak guru. Di Inggris, NUT, sebagai sarana untuk pembinaan profesionalisme guru maupun dalam mempengaruhi opini publik tentang pendidikan dan guru.
Pembinaan terhadap profesionalisme guru serta upaya terus-menerus memperjuangkan hak-hak guru yang sesuai dengan perkembangan jaman merupakan agenda penting PGRI ke depan. Pembinaan terhadap profesionalisme amatlah penting mengingat tuntutan akan kualitas guru semakin besar dari masyarakat.
Pada masa kini, pembinaan tersebut pada umumnya amat tergantung kepada kebijakan-kebijakan Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional. Rasa-rasanya penulis belum pernah mendengar PGRI mengadakan suatu kegiatan semacam penataran guru baik guru mata pelajaran maupun pengorganisasian sekolah. Kegiatan semacam itu, lebih banyak dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan atau Departemen saja. Tentu hal ini menyangkut pembiayaan/dana yang tidak sedikit, namun hal ini bias diupayakan melalui kerjasama-kerjasama dengan pihak-pihak swasta yang konsen terhadap dunia pendidikan.
Pembinaan kreatifitas guru baik dalam meningkatkan mutu mengajar maupun dalam pengembangan kreatifitas, menulis misalnya, sangatlah minim dilaksanakan PGRI sebagai wadah berhimpunnya para guru.
Sedangkan perjuangan hak-hak guru meski sering kali diklaim PGRI terus diperjuangkan, namun gaungnya tidak terlalu besar, padahal dilihat dari posisi (bargaining politik), PGRI merupakan kekuatan yang cukup besar. Tengok saja dalam pemilihan kepala-kepala Dinas di tingkat Kabupaten atau Kepala-kepala Sekolah, posisi tawar PGRI masih kalah jauh dari Partai-partai politik atau anggota dewan sekalipun sehingga para kandidat lebih banyak melobi partai atau anggota dewan, ketimbang PGRI yang menjadi induk semangnya. Hal ini sungguh memprihatinkan.
Lihat pula bagaimana periodisasi jabatan kepala sekolah yang telah digariskan, hampir di setiap daerah lumpuh total oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan. Padahal PGRI seharusnya memiliki andil dalam mensuport pelaksanaan aturan periodisasi kepala-kepala sekolah. Asalkan PGRI sendiri memiliki semacam Litbang untuk menggodok para guru yang cakap dan terampil untuk menduduki suatu jabatan serta mampu pula memberi input pemberhentian dari jabatan jika memang guru yang diusulkannya tidak memiliki kinerja yang baik.
Di tingkat Nasional, agenda terpenting PGRI saat ini adalah bagaimana menekan DPR agar segera menyetujui dan mengesahkan UU Guru. Mengingat UU tersebut diyakini akan menjadi landasan hukum akan profesionlisme guru serta meningkatkan martabat guru. Jika perlu menggerakkan kembali para guru untuk berkunjung ke gedung DPR di Senayan sebagaimana waktu lalu. Akhirnya , mudah-mudahan di hari ulang-tahunnya yang ke-55, 25 Nopember 2005 nanti. PGRI telah mampu memetakan semua permasalahan para guru sebagai tonggak perjuangan baru PGRI di era keterbukaan ini. Persaingan dari organisasi-organisasi guru lainnya, dapat dijadikan pemicu lebih ekstra keras lagi dalam berjuang. Selamat HUT PGRI ke-55, Selamat berjuang !

Komentar

ida fitria mengatakan…
terimaksi,tulisanya sedikit membantu saya dalam meyusun makalah materi sejarah pgri di msa orba

Postingan populer dari blog ini

Pabelo Bajak Laut Dari Teluk Bima

SINOPSIS BUKU "PERMADANI HIJAU" , BUAH PENAKU