Refleksi 86 Tahun Sumpah Pemuda

Delapan puluh enam tahun yang lalu, para pemuda mewakili organisasi pemuda dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Makassar, Maluku dan lain-lain hadir mengikuti Kongres Pemuda Indonesia ke-II atas inisiatif Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dengan tujuan mempersatukan segala perkumpulan pemuda Indonesia dalam satu gabungan organisasi kepemudaan. Kongres menghasilkan sebuah komitmen bersama yang sangat terkenal yaitu Sumpah Pemuda, isinya merupaka tiga pilar persatuan Indonesia; tanah air satu, bangsa satu dan bahasa satu yaitu Indonesia. Tekad yang dinyatakan dalam ikrar pemuda Indonesia itulah yang kemudian menjadi embrio kebangsaan dimana tujuhbelas tahun kemudian lahirlah bangsa Indonesia melalui Proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
Perjalanan bangsa Indonesia dari mulai masa pergerakan, kemerdekaan, hingga saat ini senantiasa tidak lepas dari peran serta para pemuda. Mereka senantiasa berada pada garis terdepan baik aksi maupun prakarsa. Masih terbayang oleh kita saat para pemuda bersama-sama menentang hingga mampu melengserkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas gerak langkah perjuangan pemuda Indonesia, namun persoalan-persoalan pemuda hingga saat ini terus menumpuk bahkan seakan benang kusut yang sangat sulit untuk diurai dan menemukan solusi terbaik untuk mengatasinya.
Tingkat pengangguran yang terus meningkat dengan jumlah angkatan kerja setiap tahun 4 – 5 juta sementara lapangan pekerjaan hanya tersedia 1,2 juta saja pertahun tentu saja merupakan masalah pelik yang menghinggapi generasi muda bangsa ini, karena sekitar 3 juta pengangguran tersebut disumbangkan oleh kaum muda Indonesia disaat mereka merupakan tenaga kerja potensial.
Tingkat penggangguran yang tinggi tentunya berakibat meningkatnya tingkat kerawanan sosial berupa tingginya kriminalitas; pelaku kejahatan yang dilakukan pemuda (usia 16 – 36 tahun) terus meningkat. Sehingga lembaga-lembaga permasyarakatan di seluruh pelosok Indonesia menjadi over kapasitas.
Potret lain yang melekat pada generasi muda kita adalah semakin suburnya berbagai penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif (NAFZA). Tingkat penyalahgunaan yang hampir tak dapat dikendalikan sungguh sudah pada taraf yang mengkhawatirkan, selain telah memperlemah produktivitas, penyalahgunaan NAFZA jelas-jelas merusak moral dan mental generasi muda kita.
Pergaulan bebas, prostitusi serta kasus-kasus pornografi yang merebak akhir-akhir ini seiring pesatnya teknologi komunikasi dan media elektronika memperparah penilaian miring terhadap degradasi moral yang melekat pada kaum muda kita. Kita pun dibuat bertanya-tanya, kemanakah jati diri bangsa yang begitu menjungjung tinggi nilai dan norma-norma kesusilaan? Hilangkah adat-istiadat bangsa yang turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang bangsa ini?
Banyaknya pergesekan diantara kaum muda dengan berbagai alasan ; harga diri, kampus, sekolah, hingga kepentingan partai atau golongan dan itu seringkali kita saksikan dalam reportase-reportase pemberitaan media elektronik berupa tawuran di jalanan, perang antar kampung, atau bahkan tawuran yang melibatkan kaum muda intelektual di kampus sungguh membuat hati kita menjadi miris. Belum lagi gesekan antar supporter yang teramat fanatic terhadap Tim Kesayangan mereka yang jelas-jelas telah jauh dari kata persatuan dan kesatuan, atau ulah hooliganisme apabila Tim mereka mengalami kekalahan sehingga kita mesti bertanya dimanakah rasa persaudaraan dan persatuan kaum muda kita berada?
Keprihatinan kita semakin memuncak manakala kita disuguhi pemberitaan mengenai terorisme yang melibatkan anak-anak muda yang seakan semudah membalikan telapak tangan terpengaruh oleh jargon-jargon jihad, memerangi kaum kafir, kejayaan agama, dan lain-lain sehingga mereka dengan bangganya meledakan diri mereka, manakala mereka terpilih sebagai “pengantin” sebagai eksekutor terror bom. Terror yang bukan saja telah merenggut nyawa mereka tapi juga orang-orang yang tak berdosa serta berakibat negara kita dikategorikan sebagai negara berbahaya untuk dikunjungi “Travel Warning”.
Diberlakukannya otonomi daerah dengan maksud memangkas jalur birokrasi serta agar inisiatif pembangunan tidak lagi ditentukan oleh Pemerintah Pusat (Sentralistik), tetapi daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan disesuaikan kebutuhan, permasalahan, dan prioritas daerah yang bersangkutan, terrnyata malah menjadi ajang penciptaan “raja-raja kecil” dan orang-orang kaya baru di daerah. Dalam pemberitaan belakang disebutkan beberapa pejabat atau mantan pejabat (Gubernur atau Bupati) di daerah tertentu masuk menjadi “seratus besar orang terkaya di Indonesia”. Ironisnya ketika di bagian lain pemberitaan, justru di daerahnya itu terjadi kasus busung lapar yang menimpa warganya. Hebat dan memang luar biasa.
Diantara sekian potret kelam generasi muda pasca 83 Tahun Sumpah Pemuda, kita tidak boleh menutup mata akan torehan prestasi emas mereka. Beberapa anak muda kita telah berhasil mengukirkan namanya menjadi yang terbaik di tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Hingga kita patut bangga kepada mereka; dengan perjuangan, dedikasi, serta semangat juang yang senafas dengan heroisme para pendahulu mereka.
Dari gelanggang ke gelanggang olahraga, torehan prestasi emas mereka tembus hingga tingkat dunia, mengibarkan Sang Saka Merah Putih yang diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya di puncak tiang tertinggi membuat kita layak meneteskan air mata haru dan bangga. Timnas sepakbola telah membuktikan kiprah mereka di ajang Piala AFF dengan prestasi membanggakan. Sejenak kita merasakan atmorfir kebangsaan yang demikian hebat; merah putih di dada dalam kostum Timnas bukan saja dengan gagah berani dan kebanggan yang tinggi dipakai sebelas pemain di lapangan, namun hampir dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat. Sejenak kita berpikir bahwa nasionalisme itu masih ada, persatuan itu masih kuat, kebanggan sebagai bangsa masih melekat, asalkan prestasi dapat diraih.
Di event-event lomba adu kecerdasan seperti olympiade sain juga lomba karya tulis tingkat dunia, anak-anak muda kita hampir setiap tahun membawa medali emas sebagai bukti bagi kita bahwa tingkat kecerdasan generasi muda penerus bangsa ini tidak kalah dengan anak-anak muda seantero dunia. Dan itu membuat kita tidak perlu khawatir mengenai perjalanan bangsa ini karena kita memiliki anak-anak muda yang cerdas, memiliki etos kejuangan yang tinggi dan kompetitif dengan bangsa-bangsa yang lain. Tinggal bagaimana kita membimbing dan juga menyediakan ruang untuk mereka berkarya di negeri sendiri, karena banyak diantara anak muda kita yang cerdas justru diambil negara lain dengan alasan beasiswa dan juga pengabdian atau balas jasa terhadap beasiswa yang mereka terima.
Delapanpuluh tiga tahun sumpah pemuda, permasalah-permasalahan generasi muda kita seperti pengangguran, degradasi moral dan susila, penyalahgunaan NAFZA, juga terorisme merupakan pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan secepat yang kita bisa, sementara pendidikan, pelatihan dan bimbingan akan prestasi harus terus dikembangkan sejalan dengan pemberian ruang gerak kepada mereka untuk berprestasi dan berkarya di negeri sendiri agar kita semua dapat berdiri tegak untuk membusungkan dada dan tidak malu lagi sebagai bangsa Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pabelo Bajak Laut Dari Teluk Bima

SINOPSIS BUKU "PERMADANI HIJAU" , BUAH PENAKU