GURU DAN DUNIA PENDIDIKAN DALAM PERCATURAN POLITIK KITA


A. Pendahuluan
Guru dan dunia pendidikan pada umumnya, pada masa kampanye Pemilu tahun 1999 yang lalu ibaratnya seorang puteri nan cantik jelita dalam dunia pewayangan sana. Puteri seorang Raja mashur yang sedang diperebutkan melalui sayembara pilih tanding melalui adu kesaktian guna memilih sang pangeran sebagai calon suaminya.Semua partai besar maupun yang kecil sangatlah nyaring menyuarakan “ Nasib guru “, “Perbaikan kesejahteraan guru “, Gaji Guru “, “Upaya meningkatkan wibawa Guru “, “ Pendidikan untuk menjamin kemajuan Bangsa “, “ Restorasi Meiji di Jepang dengan menempatkan Guru guna memperbaiki negara yang hancur “, “ Jaminan Kesehatan dan perlindungan Profesi Guru “, “ …….. Guru “, “ Guru……”. Tema-tema kampanye demikian, senantiasa terdengar merdu di telinga, menghiasi kolom-kolom media massa cetak maupun elektronik dengan mengutip inti kampanye Pimpinan Partai maupun Juru Kampanyenya.
Namun ketika selesai Pemilu, maka selesai pula pembicaraan. Menang sudah dalam Pemilu, enak duduk di Dewan, lupa pula akan janji-janji saat kampanye.Bhakan ketika Pemerintah digoyang oleh aksi-aksi demo mahasiwa akibat konsekuensi kenaikan harga BBM, TDL, dan Telepon maka salah satu butir pernyataan Staf Menkeu (Anggito Abimanyu ) adalah menaikan tunjangan guru sebesar 50% terhitung 1 Januari 2003 sebagai salah satu kompensasi pencabutan subsidi pemerintah.
Pada pelaksanaannya, ternyata kenaikan tunjangan guru di atas, adalah kenaikan yang telah diberikan sejak bulan Oktober 2002 yang merupakan janji Pemerintah sebagaimana pidato kenegaraannya sejak tanggal 2 Mei 2002 lalu. Lagi-lagi, guru dan juga masyarakat dibohongi (kasus ini sebanarnya dapat dijadikan kasus kebohongan publik) yang dilakukan Pemerintah.
Begitu pula yang terjadi ketika Pemerintah menaikan BBM pada waktu sebelumnya, dunia pendidikan merupakan salah satu bidang pokok penyaluran kompensasi kenaikan tersebut. Meskipun relaita di lapangan seakan-akan dana-dana kompensasi tersebut tidak pernah sampai pada tujuan. Hal ini didasari kenyataan bahwa dunia pendidikan tetap begitu-begitu saja . Jalan di tempat. Sekolah-sekolah yang ambruk makin sering terdengar, sarana prasarana tidak banyak berubah, perbaikan kesejahteraan guru belum dapat dirasakan, pengangkatan tenaga pendidik yang berimplikasi pada kekurangan tenaga guru selalu terbentur pada formasi yang amat terbatas.
Realitas di atas, menunjukan bahwa posisi dunia pendidikan dan guru barulah merupakan objek (isu) penting saja dalam percaturan dunia politik kita.

B. Dunia Pendidikan dalam Wilayah Ketatanegaraan
Pendidikan adalah wajah sebuah bangsa. Dalam sebuah majalah pendidikan ditulis, di Amerika, kalau terjadi sesuatu – sebut saja perang – masayrakatnya akan bertanya, “ what wrong with our education ? “ Apa yang salah dengan pendidikan kita ?. Jepang ketika negaranya hancur di Bom, yang ditanyakan oleh Sang Kaisar pertama kali adalah “ ada berapa guru yang masih tersisa ? “. Negara-negara komunis menempatkan dunia pendidikan negaranya sebagai wadah utama peng-indoktrninisasi generasi muda mereka.
Untuk dapat melihat wajah dari ideologi negara, kita tinggal menengok filosofi dan ideologi yang diajarkan di dunia pendidikan mereka. Hal ini disadari mengingat dunia pendidikan merupakan wadah transformasi nilai-nilai luhur bangsa sehingga kerapkali dunia pendidikan dijadikan media indoktrinasi oleh rezim untuk menanamkan ideologi politik serta mengintrodusir kebijakan dan ajaran resmi mereka.
Pendidikan merupakan pilar utama kemajuan bangsa, amatlah disadari oleh semua negarawan dimanapun. Pendidikan adalah tempat untuk menggembleng generasi penerus bangsa , penerus pembangunan (building nations), bahkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa untuk mewujudkan negara Indonesia yang dicita-citakan adalah dengan mencerdaskan bangsa .
Generasi muda bangsa yang cerdas, terampil, bekepribadian luhur sebagaimana tujuan pendidikan kita, tidak mungkin dapat dicapai apabila dunia pendidikan kita terbelakang bahkan stagnan sekalipun, mengingat kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan di negara-negara lain semakin cepat.Sehingga pesimisme pun merebak menuju sebuah prasangka bahwa kita akan kehilangan generasi (lost generation).
Perkembangan dan pertumbuhan dunia pendidikan negara-negara lain – sebut saja negara-negara ASEAN – memang amat mengkhawatirkan kita. Tengok saja, pencapaian-pencapain prestasi mereka dalam indeks-indeks prestasi sebagaimana setiap tahun diumumkan oleh badan-badan dunia ( UNICEF , WHO, World Bank dan lain-lain ) telah jauh meninggalkan negara kita. Kita cuma indeks-indeks negatif seperti : negara terkorup, negara dengan buta hurup terbanyak, dan sebagainya yang membuat kita harus mengurut dada dan menarik nafas panjang-panjang. Pesismisme mengenai kemungkinan kita tidak dapat bersaing dengan negara-negara lain merupakan problem yang berat ditanggung oleh dunia pendidikan dan bangsa ini.
Namun upaya-upaya pemerintah guna memajukan dunia pendidikan ternyata masih jauh dari apa yang diharapkan,untuk mengalokasikan sebesar 20% dana APBN dan APBD untuk dunia pendidikan saja, pemerintah kita masih berat hati.
Belum lagi, oreintasi dan arah dunia pendidikan kita yang belum tahu juntrungannya masih merupakan kendala yang begitu besar. Berbagai konsep dari sudut pandang yang beragam tentang bagaimana kurikulum sebagai arah pendidikan dirumuskan menjadikan dunia pendidikan kita mengalami situasi transisional seiring perubahan-perubahan mendasar yang terjadi pada susunan ketatanegaraan kita yang sedang mereformasi diri.
Mochtar Buchori dalam bukunya,”Pendidikan Antisipatoris “ menyebutkan bahwa “Pendidikan tidak hanya mempersiapkan para siswa untuk suatu profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan, apapun masalah itu “. Salah satu pemikiran itu, diharapkan dicapai mengingat asumsi kita tentang dunia pendidikan yang dibatasi oleh persoalan pengajaran (didaktik-metodik) semata.Munculnya gagasan melalui kurikulum baru dengan bertajuk “Kurikulum Berbasis Kompetensi “ yang rencananya mulai berlaku tahun 2004 mendatang oleh beberapa kalangan menganggap sebagai kemajuan..
Kurikulum baru, dengan sedikit mengubah persepsi diantaranya bahwa siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar diharapkan memiliki kemampuan dasar yang sesuai dengan kompetensinya . Kompetensi tersebut dapat diperoleh sehingga siswa memiliki life skill (ketrampilan hidup) yang dapat diterapkan di masyarakat. Kurikulum baru tersebut juga disusun dengan orientasi berbeda terhadap siswa yang dijadikan subjek (pelaku) pendidikan dan guru sebagai fasilitator dan motivator yang membimbing siswa belajar. Guru tinggal menyodorkan materi yang berdimensi problem oriented dengan menyodorkan bahan pengajaran yang berangkat dari problem riil yang dihadapi siswa dan lingkungan masyarakatnya.
Meskipun keberhasilan “kurikulum baru” belum dapat dievaluasi mengingat kurikulum tersebut baru akan diterapkan mulai tahun 2004 mendatang, namun penulis yakin bahwa krukulum tersebut akan gagal jika daya dukung pemerintah baik pusat maupun daerah belum berubah. Hal ini disebabkan faktor-faktor penunjang seperti sarana prasarana , kemampuan guru, manajemen sekolah serta partisipasi masyarakat akan sangat menentukan.

C. Guru Dipandang Dari Sudut Perpolitikan Indonesia
Guru adalah profesi yang mendapat tempat tersendiri dalam dunia politik dimanapun di dunia ini tidak terkecuali di Indonesia. Dimana pun guru merupakan panutan masyarakat, menjadi orang super yang serba tahu. Guru di sebagian besar masyarakat kita adalah tempat sumber dari segala sumber informasi. Guru bukan hanya bertugas di sekolah, terutama di daerah pedesaan guru memainkan peranan penting dalam kegiatan kemasyarakatan, jabatan-jabatan seperti Ketua RT, RW, BPD, panitia-panitia berbagai kegiatan, beberapa lagi banyak yang menjadi penceramah atau Khatib meskipun bukan guru pendidikan agama.
Dr. Dedi Supriadi mengatakan “ …Yang unik, prakarsa-prakarsa dan peranan kunci guru tersebut justru muncul dalam kondisi
Guru juga senantiasa kooperatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Meski di lingkungan sendiri senantiasa mengomel karena merasa dibohongi atau merasa diperlakukan tidak adil misalnya dalam pengurusan administrasi apakah kenaikan pangkat, dan lain-lain.
Guru juga ternyata merupakan tempat pengabdian para tokoh-tokoh besar pendiri bangsa ini (Founding Father), sebut saja KH.Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantoro,Jendral Soedirman, A.H.Nasution, Mohammad Natsir, bahkan Soekarno ; presiden pertama negeri ini pernah mengajar di sekolah Muhammadiyah semasa pengasingannya di Bengkulen (Bengkulu) . Mereka adalah tokoh-tokoh besar yang tidak hanya memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari penjajah, tetapi juga terbebas dari kebodohan.

Seiring mulai dibukanya kran demokrasi kita setelah tumbangnya kejayaan rezim Orde Baru, partai-partai politik bermunculan bagai jamur di musim hujan. Baru-baru ini Menkeh dan HAM menyatakan bahwa saat ini telah terdaftar sedikitnya 250 partai politik yang siap bertarung pada Pemilu yang akan datang.Tentu saja partai-partai tersebut akan diseleksi sehingga peserta pemilu tidak sebanyak itu, namun dari sekarang kita dapat membayangkan bagaimana rivalitas dan kompetisi partai-partai untuk meraih massa pendukung akan sangat ketat. Apalagi dengan dilangsungkannya Pemilihan Presiden secara langsung serta pemberlakuan penalti bagi partai-partai yang tidak mencapai suara sebanyak 10% dari jumlah pemilih, tentu saja akan sangat meningkatkan kompetisi partai-partai konstestan pemilu.
Peran serta dan ketokohan guru dalam masyarakat memang disadari betul oleh pemerintah baik yang sedang berkuasa maupun yang (ingin) berkuasa, sehingga tidak mengherankan jika tema-tema kampanye partai-partai politik senantiasa menyangkut profesi guru. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila, misalnya semua guru di tanah air secara serentak memboikot pemilu.
Sayangnya, posisi tawar kedudukan guru tersebut tidak diupayakan secara optimal oleh para guru atau organisasi profesi semisal PGRI. Kelihatannya PGRI masih ragu-ragu dalam memperjuangkan nasib guru yang diembannya. Barangkali kondisi ini berangkat dari pengalaman selama 32 tahun yang menutup saluran-saluran aspirasi masyarakat apalagi Guru sebagai Pegawai Negeri Sipil yang terikat sumpah jabatan untuk loyal pada Pemerintah.
Alangkah baiknya bila PGRI sebagaimana juga TNI untuk merededeposisi jatidiri keberadaan para guru (umumnya PNS) untuk tidak lagi sebagai aparatur pemerintah yang memilki kewajiban setia pada pemerintah, akan tetapi mengambil sikap sebagai aparatur dan abdi negara. Siapa pun Pemerintah yang berkuasa.Sehingga tidak akan ragu-ragu lagi memperjuangkan nasib guru.
Barangkali, timing yang yang paling tepat adalah saat ini ke depan. PGRI harus mampu memanpaatkan dan menangkap peluang dalam persaingan rivalitas partai-partai politik, dan bahkan dapat menekan pemerintah sekarang ini.
Gebrakan-gebrakan politik, asalkan dimainkan secara cantik, penulis yakin akan sangat efektif. Misalnya saja kenaikan tunjangan guru yang diumumkan kemarin, kiranya dapat dibawa ke meja hijau melalui class action. Kenapa tidak ?
Penulis kira, demo guru sebagaimana terjadi pada Pemerintahan GUSDUR tidak perlu dilakukan lagi, jika saja PGRI berhasil melobi (menekan) Pemerintah misalnya saja dengan mengemukakan ide pemboikotan Pemilu atau Pemilihan Presiden sacara langsung oleh guru dan masih banyak lagi yang bisa dikemukakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pabelo Bajak Laut Dari Teluk Bima

SINOPSIS BUKU "PERMADANI HIJAU" , BUAH PENAKU