Timnas dan Naturalisasi Pemain

Indonesia dalam sorotan mata dunia. Mulai pemain Ajax Amsterdam, Gregory Van der Wiel hingga kapten Timnas Inggris, Rio Ferdinand, terus memantau penampilan Timnas Garuda di ajang Piala AFF 2010. Mengapa? Ini tak lepas penampilan memukai anak asuh Alfred Rield di fase grup.

Satu pool bersama Malaysia, Laos dan raja Asia Tenggara, Thailand, Firman Utina dan kawan kawan memberi kejutan dengan muncul sebagai kampiun. Pada laga pertama, Indonesia mengganyang Negeri Jiran, Malaysia. Tak tanggung-tanggung, Indonesia menelan Malaysia dengan skor telak 5-1. Tak puas dengan torehan lima gol, Laos 'diuleg' hingga rata dengan gelontoran setengah lusin gol. Thailand menjadi tim terakhir yang merasakan kejantanan Indonesia. Dalam laga yang bisa disebut sebagai El Clasico-nya Southeast Asia ini, Indonesia menang tipis 2-1.

Tiga laga dengan tiga kemenangan membuat Indonesia memastikan diri sebagai juara grup A dengan poin sempurnya: 9. Selisih gol mereka pun sungguh mengagumkan. Total 13 gol sudah dicetak anak asuh Riedl dan jala Markus Haris Maulana hanya bergetar dua kali saja. Tak cukup sampai di situ. Indonesia juga berbaik hati dengan 'membantu' Malaysia masuk ke semifinal. Kemenangan Timnas atas Thailand membuat Tim Gajah Putih harus rela tiket semifinal diambil ke anak buah Rajagopal.

"Kami senang karena Indonesia menunjukkan diri sebagai tim yang bermain profesional di Jakarta. Kemenangan kami tidak terlepas dari kemenangan Indonesia juga," akunya kepada wartawan usai laga di Stadion Gelora Jaka Baring, Palembang, Selasa (7/12/2010) malam.

Lalu apa kunci sukses Indonesia? Selain tak lepas dari peran sang profesor, Riedl, dalam meracik strategi, penampilan Timnas berubah drastis semenjak bergabungnya dua pemain: Irfan Bachdim dan Chritian Gonzales. Ya, Irfan dan El Loco, julukan Gonzales, merupakan pemain naturalisasi yang berbaju merah putih. Meski berstatus pemain baru di Timnas, namun keduanya sudah membuktikan diri layak mengenakan seragam merah putih beserta logo garuda di dada.

Seakan tak mau kalah dengan pemain lokal seperti Firman Utina, M Ridwan, Arif Suyono dan Bambang Pamungkas, Irfan dan Gonzales juga memiliki torehan gol sama dengan empat pemain itu, yakni dua gol. Melihat performa Irfan dan Gonzales sepanjang babak grup Piala AFF, apakah hal ini bisa disebut sebagai kesuksesan Indonesia dalam menaturalisasi pemain? Jika ya, perlukah Badan Tim Nasional (BTN) sebagai pengayom Timnas mendatangkan lebih banyak pemain keturunan untuk dinaturalisasi?

Ketika wacana naturaliasi dihembuskan oleh media, berbagai opini langsung bermunculan. Ada yang setuju dan ada yang kontra. Bagi mereka yang setuju, jalur naturalisasi dianggap paling pas untuk penyegaran dalam tubuh Timnas. Memang, hampir selama 5 tahun ke belakang, formasi Timnas Indonesia selalu tak pernah ada perubahan yang signifikan. Alhasil, prestasi Timnas pun 'adem panas'.

Sedangkan bagi yang tidak setuju, mungkin berpikir, "Apakah dari ratusan juta penduduk Indonesia, PSSI tidak mampu memilih 11 pemain yang siap diturunkan sebagai starter." Kalau berbicara tentang talenta, Indonesia memang gudangnya pemain, meski tidak menjamin semua pemain itu berkualitas. Tapi sekali lagi meski memiliki penduduk ratusan juta, namun pemain yang mengisi posisi Timnas ya itu-itu saja, alias monoton.

Sebenarnya, naturalisasi atau memainkan pemain keturunan di sebuah negara memang bukan hal baru. Di antara raksasa Eropa, Jerman dan Prancis bisa menjadi contoh. Di Piala Dunia Afrika Selatan 2010 lalu, Der Panzer mungkin negara paling disorot dengan melimpahnya pemain keturunan. Dalam tim yang dibesut Joachim Low, ada nama-nama yang merupakan pemain imigran, yakni Miroslav Klose dan Lukas Podolski lahir di Polandia, Mesut Ozil keturunan Turki, Sami Khedira berdarah Tunisia, Jerome Boateng berayah dari Ghana serta Mario Gomez keturunan Spanyol.

Besarnya jumlah pemain keturunan asing dalam Timnas Jerman merupakan indikasi makin meningkatnya integrasi di negara berpenduduk 82 juta jiwa itu. Sebab, 7 juta di antaranya merupakan warga imigran. Meski menggunakan pemain imigran, toh negeri yang dipimpin Kanselir Angela Merkel ini tak pernah malu apalagi minder. Mereka justru bangga dengan prestasi Klose cs.

"Ini kemajuan yang luar bisa, 11 dari 23 pemain Jerman berasal dari keluarga imigran," kata Menteri Olahraga sekaligus Menteri Dalam Negeri Jerman, Thomas de Maiziere. Ia mengakui para pemain imigran telah ikut berjasa membantu mengangkat penampilan tim Jerman belakangan ini.

Bahkan pemerintah Jerman seolah membuka pintu lebar-lebar bagi pemain dari negara mana saja yang ingin memperkuat Timnas Jerman. "Tim sepakbola ini merupakan contoh sukses dari sebuah integrasi. Mereka yang bekerja keras akan diterima dan mereka yang punya keyakinan (pada Jerman) akan mendapat kesempatan," lanjut De Maiziere.

Tak hanya Jerman, juara dunia tahun 1998, Prancis juga melakukan hal sama. Bahkan boleh dikata Tim Ayam Jantan merupakan imam pengguna pemain keturunan di tubuh Timnasnya. Dalam Timnas Prancis untuk Piala Dunia 2010 misalnya, tercatat sekitar 13 pemain naturalisasi memperkuat Les Bleus. Prancis juga mau tidak mau harus mengakui berkat jasa pemain keturunan, imigran dan naturalisasi seperti Zinedine Zidane (Aljazair), Patrick Veira (Senegal), Lilian Thuram (Guadeloupe), atau Thiery Henry (Guadeloupe-Martinique) itulah, mereka berhasil merajai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 serta meraih runner up Piala Dunia 2006.

Dengan melihat fakta itu, tak salah bila Indonesia juga menggunakan pemain imigran, naturalisasi atau keturunan. Faktanya beberapa negara yang sepakbolanya maju juga melakukannya. Untul level Asia Tenggara sendiri, Indonesia kalah start dengan Singapura. Negeri Singa ini menjadi pelopor penggunaan pemain keturunan. Setelahnya, baru diikuti Indonesia dengan dua pemain naturalisasi dan Filipina yang memiliki tujuh pemain naturalisasi dalam timnya.

Sederhananya, jika menggunakan dua pemain naturalisasi saja Garuda semakin tajam, lalu bagaimana jika Timnas menambah beberapa pemain lagi? Lantas, seandainya kita menambah pemain naturalisasi, apakah mereka mampu mengangkat prestasi Indonesia menjadi raja Asia Tenggara, raksasa Asia atau menjadi kekuatan baru dalam level dunia. Lalu bagaimana dengan nasib pemain lokal kita. Apa benar kualitas mereka di bawah standard?

Memang masalah naturalisasi ini masih menuai perdebatan hingga saat ini. Ya, memang sah-sah saja bila Indonesia menggunakan pemain keturunan. Dan, tidak masalah juga jika BTN lebih mengutamakan pemain lokal. Yang jelas, saat ini banyak pemain keturunan yang ngebet, seperti orang mau kencing, untuk menjadi punggawa Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya sudah masuk daftar tunggu, seperti Sergio van Dijk hingga si kecil mungil, Kim Kurniawan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pabelo Bajak Laut Dari Teluk Bima

SINOPSIS BUKU "PERMADANI HIJAU" , BUAH PENAKU