MENYONGSONG UJIAN AKHIR NASIONAL 2008

Beberapa waktu yang lalu, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui press briefing oleh Dirjen Dikdasmen Bapak Indra Djati Sidi telah mengumumkan bahwa Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk tingkat SLTP dan SMTA akan dilaksanakan pada bulan Mei 2003 .
Ada nuansa perubahan dalam pelaksanaan UAN pada tahun ini baik di tingkat SLTP maupun SMTA. Perubahan itu menyangkut dua pokok yang amat penting yaitu : Banyaknya mata pelajaran yang diujikan serta dua kriteria “Tamat” dan “Lulus” bagi peserta ujian yang akan diperoleh dari hasil UAN tersebut.Konsekuensi dari dua kriteria tersebut adalah para siswa yang dinyatakan lulus-lah yang dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Di kalangan pendidik dan juga peserta didik (siswa) maupun orangtua siswa, kedua butir perubahan terutama dua kriteria “Tamat” dan “Lulus” cukup mengagetkan dan mendapat perhatian dan opini yang cukup beragam. Siswa dan juga orangtua siswa pada umumnya merasakan kecemasan bahwa mereka dan juga anak-anak mereka (mungkin) tidak akan mendapat ijasah dengan predikat “Lulus”. Sementara di kalangan pendidik opini terbelah menjadi dua; mereka yang beranggapan bahwa dengan diberlakukannya dua kriteria di atas diyakini dapat memotivasi semangat belajar siswa, sedangkan yang lainnya merasa pengumuman di atas terlalu dekat dengan waktu ujian sehingga dikhawatirkan banyak siswanya yang tidak akan “lulus”.
Selain itu, di kalangan pendidik juga timbul pertanyaan besar mengingat pada tahun 2004 nanti akan mulai diberlakukannya Kurikulum baru yang bertajuk Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) . Kurikulum baru tersebut sebagaimana telah disosialisasikan sebagai kurikulum yang merubah paradigma pendidikan kita yang tidak tertuju pada pencapaian nilai-nilai yang bersifat akademis namun lebih menekankan kepada life skill (keterampilan) sehingga proses penilaian tidak bertumpu pada pencapaian hasil melalui test-test (ulangan/ujian) semata. Dalam beberapa kegiatan sosialisasi KBK sebagaimana penulis ikuti, test akhir semester (ulangan umum semester) dan juga Ujian Akhir Semester Nasional (UAN) secara bertahap akan dihilangkan.

Keadaan di atas, tentu saja merupakan keadaan yang saling kontradiktif dimana di sisi lain melalui UAN yang sebentar lagi akan dilaksanakan para siswa yang saat ini akan mengikuti ujian dihadapkan pada dua kriteria “tamat” dan “lulus”, sedangkan dua tahun yang akan datang orientasi pendidikan yang berubah akan menghilangkan Ujian-ujian baik akhir semester maupun akhir pendidikan di suatu jenjang pendidikan dan menyerahkan kriteria akhir siswa menyelesaikan suatu jenjang pendidikan pada sekolah masing-masing.
Pertanyaan lain yang mengganjal adalah mengenai nasib siswa-siswa yang tidak lulus atau hanya mendapat Surat Tanda Tamat Belajar. Mereka ini nantinya tidak boleh melanjutkan pendidikan ke jengjang lebih tinggi, namun diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang sampai mereka mendapat predikat “lulus”. Bagi siswa-siswa SMTA, barangkali masalah ini tidak terlalu rumit mengingat mulai tahun ajaran 2003-2004 mendatang, beberapa Perguruan Tinggi jauh-jauh hari telah merencanakan untuk menyelenggarakan Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dua kali dalam setahun sehingga bagi mereka yang tidak lulus dapat mengikuti ujian ulang UAN dan mengikuti ujian SPMB pada tahap kedua. Namun bagi siswa-siswa SLTP dan SD,tentu saja meraka akan kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena tidak ada rencana penerimaan siswa baru dua kali sebagaimana di PTN/PTS. Begitu pula dengan penyesuaian pembelajaran (menyangkut kurikulum) yang tidak memungkinkan untuk menerima siswa baru di tengah-tengah tahun pelajaran.
Alhasil, keadaan di atas menunjukan bahwa dunia pendidikan kita masih masih belum menunjukan arah serta format yang jelas, kemana dan bagaimana pendidikan kita akan dibawa ?.
Pendidikan merupakan sebuah sistem dimana komponen-komponen baik internal maupun eksternal memiliki hubungan satu sama yang lain dengan tidak dapat dipisah-pisahkan. Uniknya hubungan antar komponen pendidikan itu sangat beragam dan menyangkut variabel-variabel kemanusian yang juga amat majemuk. Lihat saja, bagaimana kurikulum , bahan, metode, dan alat pembelajaran serta evaluasi yang merupakan faktor-faktor internal senantiasa tidak berdiri sendiri dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi-politik, letak geografis, ekonomi, sosial, dan juga kultur (budaya).
Interaksi antar komponen pendidikan yang amat majemuk tersebut merupakan masalah tersendiri bagi dunia pendidikan kita. Tidak heran apabila para pengambil kebijakan dunia pendidikan kita mengalami kesulitan untuk dapat menentukan arah kebijakan yang benar-benar dapat memajukan dunia pendidikan secara komprehensif; dapat diterapkan di semua pelosok tanah air , di seluruh penjuru Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Seiring dengan nafas otonomi daerah di era reformasi ini, pendidikan kemudian menjadi bagian integral dari pelaksanaan otonomi daerah. Pendidikan diserahkan kepada daerah sehingga tidak lagi secara langsung diatur oleh Pemerintah pusat, kecuali beberapa hal yang menyangkut kurikulum sebagai upaya penerapan standar minimal agar tidak terlalu besar perbedaan pencapaian antara masing-masing daerah.
Desentralisasi pendidikan melalui pelimpahan kewenengan penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk menggali potensi keanekaragaman kultur pendidikan di daerah yang selama ini tersekat oleh birokrasi dan pengaturan dari Pusat yang menyamaratakan sistem pendidikan secara nasional.
Sejalan dengan nafas otonomi daerah , berkembang pula sistem penyelenggaraan pendidikan melalui apa yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang kemudian kita tafsirkan sebagai ototnomi sekolah. Melalui MBS ini diharapkan sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan berani dan mampu menumbuhkan iklim kreatif dan inovatif guna meningkatkan mutu pendidikan dengan merangkul partisipasi aktif segenap komponen masyarakat (stakeholder).
Melalui ototnomi pendidikan dan juga otonomi sekolah inilah diharapkan tumbuh dan berkembangnya visi dan misi sekolah penyelenggara pendidikan sehingga pada akhirnya masalah pendidikan yang sangat majemuk ini dapat dinetralisir dan bersinergi memecah kebekuan dan kebuntuan yang selama ini menyelimuti dunia pendidikan kita.
Akan tetapi, selama lebih dari dua tahun pelaksanaan otonomi daerah berlangsung, kiranya kita harus mengakui secara jujur bahwa dunia pendidikan kita masih belum mencapai apa yang diharapkan.Realitas yang ada menunjukan bahwa ternyata Pemerintahan di daerah/kota masih belum bersungguh-sungguh memajukan dunia pendidikan yang telah menjadi tanggungjawabnya. Tengok saja upaya untuk menanggulangi kebutuhan tenaga guru yang sekarang ini akan dipecahkan lewat pengangkatan guru bantu dimana ide dan pelaksanaan baik pendanaan maupun penyeleksian masih merupakan inisiatif dari pusat .
Anggaran pendidikan yang dialokasikan lewat APBD jauh masih sedikit dari apa yang diharapkan . Untuk menganggarkan minimal 20% APBD untuk pendidikan saja, pemerintah kota/kabupaten amatlah sulit. Bahkan di atas kertas sekalipun !. Karena umumnya di negara kita, anggaran real yang sampai akan terus berkurang sepanjang untaian birokrasi yang panjang dan melelahkan, Pemerintah Kabupaten/kota masih paceklik memunculkan terobosan-terobosan kebijakan (political will) yang dapat memacu kemajuan dunia pendidikan di daerah, bahkan mata rantai birokrasi yang begitu panjang tatkala sentralisasi masih berlangsung, semakin rumit saja manakala pelimpahan administrasi pendidikan sudah berada di daerah . Moto “ Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah “ nyata-nyata masih berlangsung hingga saat ini. Barangkali benar pendapat-pendapat para ahli, bahwa otonomi daerah yang dituntut ketika era reformasi bergulir , baru sebatas euforia saja sedangkan sumberdaya manusianya masih belum siap sepenuhnya.
Hasilnya, baru-baru ini UNDP dalam laporan Indeks Human Depelopment menempatkan Indonesia pada peringkat 107 dunia dan merupakan urutan terbuncit di Kawasan negara-negara Asia Tenggara. Sebuah kenyataan yang amat pahit, mengingat negara kita bahkan telah terlewati oleh Vietnam;dimana bangsa dan rakyat mereka baru saja menghirup udara kemerdekaannnya.
Meskipun kita patut pula mempertanyakan instrumen-instrumen apa saja sehingga UNDP sebagai salah satu badan dunia di bawah naungan PBB menempatkan indeks pencapaian pendidikan negara kita di tempat ke-107 di dunia, namun dalam teori pendidikan dinyatakan bahwa salah satu instrumen untuk mengukur sejauhmana keberhasilan tujuan pendidikan dan pembelajaran dapat dicapai adalah melalui evaluasi.
Evaluasi sendiri sebenarnya bukan semata-mata pemberian nilai atau angka-angka akan tetapi sebagai dasar untuk menganalisa berbagai kelemahan dari komponen-komponen lain seperti bahan, alat, maupun metode pembelajaran yang telah dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu.
Memang teramat tidak bijaksana apabila sebuah keberhasilan persekolahn pada satu jenjang ditentukan oleh satu moment evaluasi saja sebagaimana hasil yang diperoleh dari Ujian Akhir Nasional (UAN). Padahal pelaksanaan UAN hanya diikuti oleh siswa-siswa yang akan menyelesaikan pendidikan pada suatu jenjang persekolahan.Lantas bagaimana dengan pencapaian hasil-hasil evaluasi tiapa-tiap catur wulan/semester ? Barangkali pertimbangan inilah yang diakomodir sehingga pada pelaksanaan kurikulum baru nanti, pelaksanaan UAN akan dihilangkan.
Akan tetapi, pelaksanaan evaluasi yang dilimpahkan pada sekolah masing-masing bukan berarti tidak memiliki kelemahan manakala standar masing-masing sekolah memiliki perbedaan . Sebagai ilustrasi ; Seorang siswa A di sekolah x yang berada di daerah pinggiran mendapat nilai 8 pada mata pelajaran Matematika misalnya, tentu akan memiliki kualitas berbeda dengan siswa B di sekolah y yang ada di perkotaan meskipun nilai yang diraih sama-sama 8 pada mata pelajaran yang sama .Lantas bagaimana mengukur persamaan nilai yang diraih ?
Masalah lain yang terjadi adalah kemampuan masing-masing sekolah untuk menetapkan siswa yang “naik atau tidak naik “ dan juga “lulus atau tidak lulus “. Sebuah realitas apabila sekolah kita sekarang sudah tidak punya keberanian untuk tidak meluluskan atau tidak menaikkan siswanya. Ketidakberdayaan itu disebabkan oleh mental birokrat kita sekarang yang tidak mengenal kata-kata “gagal”. Sekolah dinilai baik apabila “seratuspersen” siswanya naik atau lulus dan sebaliknya sekolah dianggap gagal jika persentase kelulusan atau kenaikannya kurang dari itu. Tak heran apabila ada anggapan sekarang bahwa sekolah kita hanyalah ajang pembodohan siswa-siswanya saja, untuk mengejar predikat sekolah yang baik itulah sekolah harus menaikkan siswa, meskipun siswa tersebut sangat tidak layak untuk naik ataupun lulus.Beberapa tahun lalu, ketika Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) masih mencantumkan nilai-nilai mata pelajaran . Nilai-nilai itu diambil dari nilai rata-rata raport cawu/semester di kelas III,nilai raport cawu/semester terakhir, dan nilai UAN (dulu EBTA/EBTANAS). Maka untuk me-luluskan seorang siswa, tidak tanggung-tanggung memberikan nilai raport yang amat tinggi meski sangat tidak masuk akal dibandingkan dengan prestasi si anak.
Akibat dari keadaan tersebut telah menciptakan situasi yang kontraproduktif terhadap semangat belajar dan tingkat persaingan siswa-siswanya. Asumsi bahwa mereka akan naik atau pun lulus pada waktunya, membuat para siswa terlena dan berleha-leha, kondisi terburuk adalah para siswa lebih menyenangi hura-hura daripada belajar, mereka lebih memilih tempat-tempat bersenang-senang ketimbang membuka buku-buku pelajaran akibatnya adalah penyimpangan dan kenakalan remaja (siswa) semakin meningkat. Narkoba di kalangan pelajar meski semakin genjar diperangi, namun perkembangannya justru semakin meningkat . Wibawa sekolah sebagai tempat pendidikan dan juga wibawa guru sebagai pendidik sudah sangat jatuh dimata para siswanya.
Kondisi ini juga membuat prustasi para guru yang berdiri di depan kelas, kebanyakan para guru sudah tidak meyakini lagi bahwa ilmu yang diberikannya kepada siswa-siswa mereka dapat terserap. Para guru tidak termotivasi meningkatkan kinerja proses belajar-mengajar , karena dengan bekal mengajar seadanya-pun mereka dapat berdiri di depan kelas. Sungguh keadaan yang amat mengkhawatirkan sehingga amat wajar jika negara kita makin tertinggal jauh dari negara-negara lain.
Maka apa yang kita butuhkan untuk mengatasi keadaan ini ?
Shok therapi, merupakan salah satu jalan yang harus dilakukan, karena kita tidak boleh membiarkan keadaan ini berlarut-larut. UAN dengan menerapkan dua kriteria lulus dan tamat diyakini merupakan sock terapi yang barangkali dapat menyadarkan komponen-komponen dunia pendidikan kita sadar, bahwa dunia pendidikan kita telah jauh tertinggal.Barangkali dengan banyaknya siswa yang tidak berhasil lulus dapat membuat siswa , guru, sekolah dan juga masyarakat sadar bahwa hasil pembelajaran kita belum dilaksanakan secara maksimal.
Bagi siswa dengan diberlakukannya dua kriteria ini , mudah-mudahan akan menumbuhkan motivasi baru untuk memiliki semangat belajar, meski mereka harus memilih untuk meninggalkan kegiatan-kegiatan hura-hura jika mereka ingin lulus.
Bagi guru dan juga sekolah, dapat segera berintrospeksi memperbaiki semua kelemahan-kelemahan pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Tentu dengan berupaya merubah pola-pola lama dan mengganti metode-metode yang menjemukkan bagi siswa dengan pola-pola dan metode baru hasil kraetifitas yang dapat menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif.
Bagi masyarakat, diharapkan dapat lebih mendukung upaya-upaya sekolah melaksanakan inovasi-inovasi baru dalam penyelenggaraan persekolahan serta lebih melibatkan diri dalam pengawasan semua aspek kegiatan yang dilaksanakan termasuk mengawasi putera-puteri mereka ketika meraka berada di lingkungan rumah. Penyerahan mutlak anak-anak mereka ke sekolah; sebagaimana terjadi sekarang ini, telah menciptakan jurang komunikasi antara sekolah dan orangtua siswa sehingga menyulitkan perbaikan-perbaikan prestasi belajar anak-anak mereka.
Akhirnya, meski pelaksanaan UAN sebagai barometer untuk menetapkan keberhasilan siswa mengikuti kegiatan pada suatu jenjang persekolah bukanlah suatu yang bijaksana, namun dibutuhkan sebagai shock therapi memperbaiki carut-marutnya dunia pendidikan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pabelo Bajak Laut Dari Teluk Bima

SINOPSIS BUKU "PERMADANI HIJAU" , BUAH PENAKU