KEMERDEKAAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Dalam kegiatan
belajar-mengajar, pendidik (guru) memiliki mandat yang luas untuk merencanakan,
melaksanakan serta mengevaluasi kegiatan. Bahkan seberapa besar konsep atau
tuntutan kurikulum meskipun selalu berganti-ganti, namun tetap saja
implementasi di dalam kelas, dimiliki hampir dapat dikatakan mutlak oleh guru
itu sendiri.
Ada pameo
mengatakan “Kurikulum terus berganti,
ngajar mah kumaha guru we….”, paraigma atau mindset inilah yang terus
menjadi pegangan para guru konservatif; guru-guru yang sangat sulit untuk
berubah dan merubah pola pikirnya. Sehingga sangat sulit untuk membedakan
perbedaan antara implemetasi kurikulum lama maupun kurikulum yang baru. Mungkin
hanya format laporan hasil belajar (Raport) saja yang secara jelas membedakan antara kurikulum lama
dengan yang baru.
Menyimak
rasionalitas perubahan kurikulum ke kurikulum 2013, setidaknya ada 16 butir
penyempurnaan pola pikir yang semestinya menjadi pola pikir yang baru dalam
mengimplementasika kurikulum baru khususnya pada proses kegiatan
belajar-mengajar (KBM). Dimana ke-16 butir tersebut semuanya berpihak pada
peserta didik (siswa). Antara lain: bahwa KBM harus lah berpusat pada siswa
(student center), interaktif, lingkungan jejaring (bukan isolasi), aktif
menyelidiki (tidak fasif). Kooferatif (tidak satu arah), dll.
Menilik paradigma
baru tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dengan perubahan kurikulum baru ini
para siswa seharusnya menjadi subjek pembelajaran dan bukan lagi objek
pembelajaran. Para siswa tidak lagi hanya menerima apapun yang disampaikan oleh
Bapak/Ibu guru, namun ia memiliki kemerdekaan untuk mengamati,
menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring.
Hal di atas,
barangkali bersumber pada kenyataan akan tidak diberikannya ruang yang luas
bagi para siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan
sehingga mereka menjadi “tahu mengapa”, “ tahu bagaimana” dan “tahu apa”
terhadap materi ajar.
Dengan paradigma
baru yang dikembangkan ini, kelas diharapkan tidak lagi menjadi ruang isolasi
bagi mereka sehinga istilah “kelas bukan kuburan” benar-benar terwujud melalui
kemerdekaan para siswa untuk mengolah dan mengembangkan daya pikir mereka
sesuai kemampuan masing-masing, mereka bisa saling berkomunikasi satu dengan
yang lainnya, mereka bisa menyampaikan pendapat sesuai dengan apa yang mereka
temukan dari hasil pengamatan atau diskusi kelompok. Kelas tidak lagi harus
sepi dan sunyi, kecuali suara guru dimana para siswa mendengar dan menyimak
apapun kalimat yang keluar dari mulut “Sang Guru”, bahkan mereka dilarang untuk
sekedar menoleh ke samping atau kebelakang karena itu artinya ia tidak
benar-benar menyimak.
Dengan pendekatan
lama, dimana para siswa wajib untuk hanya menyimak apa kata guru selama
berlangsungnya KBM, maka dapat dipastikan kemerdekaan mereka selaku individu
yang memiliki pola pikir sendiri, kemampuan untuk menyampaikan pemikiran dan
pendapat mereka telah terampas dalam tembok yang bernama ruang kelas dan
tiraninya adalah Sang Guru yang seakan-akan serba maha tahu itu
Komentar